HARI ULANG TAHUN Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) kalau merujuk tanggal pembentukan Provinsi Kalimantan Timur berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Otonom Propinsi Kalimantan Barat Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur, Tanggal 1 Januari 1957.
Tapi, seperti kebiasaan selama ini, upacara HUT Provinsi Kaltim dilaksanakan tiap tanggal 9 Januari, didahului dengan Rapat Paripurna Istimewa DPRD Kaltim, selang satu atau 3 hari sebelum tanggal 9 Januari. Pada tahun ini, Rapat Paripurna Istimewa DPRD Kaltim dengan Agenda Memperingati HUT ke-66 Provinsi Kaltim dilaksanakan, Kamis, 5 Januari 2023.
Saat merayakan HUT ke-66 Provinsi Kaltim tahun 2023, sesuatu yang baru sebetulnya adalah, ini adalah tahun pertama Kaltim “hidup” di bawah UU Nomor 10 Tahun 2022 tentang Provinsi Kalimantan Timur, setelah diundangkan 16 Maret 2022.
Hal yang baru tentang Kaltim di UU No 10 Tahun 2022 tidak banyak, hanya ada di Pasal 5 ayat (1) disebutkan; Provinsi Kalimantan Timur memiliki karakter potensi sumber daya alam berupa hutan tetap, hutan produksi, hutan lindung, hutan konvensi, perkebunan, dan bahan galian berupa batu alam, batu bara, dan minyak bumi.
Kemudian di Pasal 5 ayat (2) diterangkan; Provinsi Kalimantan Timur memiliki karakter suku bangsa dan kultural yang secara umum memiliki karakter religius sekaligus menjunjung tinggi adat istiadat dan kelestarian lingkungan.
Sedangkan lainya menyangkut wilayah Provinsi Kaltim setelah terbentuknya Provinsi Kalimantan Utara. Pada Pasal 3 diterangkan bahwa Provinsi Kilimantan Timur terdiri dari 7 (tujuh) Kabupaten dan 3 (tiga) Kota, yaitu: Kabupaten Kutai Kartanegara; Kabupaten Kutai Barat; Kabupaten Kutai Timur; Kabupaten Berau; Kabupaten Paser; Kabupaten Penajam Paser Utara; Kabupaten Mahakam Ulu; Kota Samarinda; Kota Balikpapan; dan Kota Bontang.
Pembaruan dan pemisahan UU pembetukan Provinsi Kaltim dengan UU Nomor 10 Tahun 2022 tentang Provinsi Kalimantan Timur dengan provinsi lainnya Kalimantan, karena UU yang menjadi dasar pembentukan masih berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1956 berdasarkan pada UUDS ((Undang Undang Dasar Sementera) Tahun 1950.
Adapun arah perubahannya tetap menempatkan Provinsi Kaltim dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (selanjutnya disingkat NKRI), tetapi tidak membentuk daerah khusus (asimetris) yang baru.
Adapun beberapa perkembangan, permasalah, dan kebutuhan hukum terkait urgensi perubahan UU tentang Pembentukan Kalbar, Kalsel, dan Kaltim yaitu, pertama, perlunya penataan kembali terhadap dasar hukum pembentukan UU tentang Pembentukan Kalbar, Kalsel, dan Kaltim, hal ini dilakukan karena dasar pembentukan Provinsi Kaltim yang dibentuk melalui UU tentang Pembentukan Kalbar, Kalsel, dan Kaltim yang masih mendasarkan pada UUDS 1950 dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 dan tentang Pemerintah Daerah sudah tidak berlaku, sehingga perlu ada beberapa penyesuaian pengaturan dalam ketentuan UU tentang Pembentukan Kalbar, Kalsel, dan Kaltim.
Hal ini tentu saja harus disinkronkan pula dengan tujuan filosofis pembentukan Negara, seperti yang termaktub di dalam Pancasila dan Pembukaan UUD NRI Tahun 1945. Adapun ketentuan Pasal 1 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa NKRI adalah Negara kesatuan yang berbentuk republik.
NKRI dibagi atas daerah provinsi, dan daerah provinsi dibagi atas daerah kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Kedua, UU tentang Pembentukan Kalbar, Kalsel, dan Kaltim belum memuat materi muatan yang mencerminkan karakterisitik, keragaman, potensi, dan permasalahan di Provinsi Kaltim, misal potensi di bidang pertambangan mineral, gas, batubara, pertanian, dan perikanan, serta ketimpangan dalam pembangunan infrastruktur dan kualitas SDM.
Disisi lain, Provinsi Kaltim merupakan salah satu kontributor terbesar penerimaan untuk APBN, tetapi hanya memperoleh pengembalian dana perimbangan yang dirasa belum optimal untuk melakukan pembiayaan pembangunan di Kaltim.
Selain itu, UU tentang Pembentukan Kalbar, Kalsel, dan Kaltim belum disinkronkan dengan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pemekaran dan pembentukan daerah yang terkait dengan provinsi Kalimantan Timur dan wacana pembentukan Ibukota Negara (selanjutnya disingkat IKN) baru yang rencananya akan dibangun di Provinsi Kaltim, sehingga berakibat akan mengubah luas dan perbatasan wilayahnya.
Perkembangan ini harus didukung oleh perangkat peraturan perundang-undangan yang dapat menunjang pelaksanaan kebijakan tersebut. Selain itu, materi muatan pokok yang harus dimuat dalam peraturan perundang-undangan pembentukan daerah juga harus menjadi bagian UU Provinsi Kaltim, di antaranya posisi; cakupan wilayah; batas wilayah; dan kedudukan ibu kota; urusan pemerintahan daerah; pendapatan/pendanaan; bidang prioritas pembangunan daerah; perencanaan pembangunan daerah, urusan pilihan yang menjadi andalan, dan materi lain yang diangap penting diantaranya perlindungan terhadap masyarakat hukum adat.
Perkembangan Masyarakat Kaltim
Dari sudut perkembangan kemasyarakatan, sebelum masuknya suku-suku dari Sarawak dan suku-suku pendatang dari luar pulau, wilayah ini sangat jarang penduduknya. Sebelum kedatangan Belanda terdapat beberapa kerajaan yang berada di Kaltim, diantaranya adalah Kerajaan Kutai (beragama Hindu), Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura, Kesultanan Pasir dan Kesultanan Bulungan.
Menurut Hikayat Banjar, wilayah Kaltim (Pasir, Kutai, Berau, Karasikan) merupakan sebagian dari wilayah taklukan Kesultanan Banjar, bahkan sejak jaman Hindu. Hikayat Banjar menyebutkan bahwa pada paruh pertama abad ke17, Sultan Makassar meminjam tanah sebagai tempat berdagang meliputi wilayah timur dan tenggara Kalimantan kepada Sultan Mustain Billah dari Banjar.
Pinjam meminjam tanah berlangsung waktu Kiai Martasura diutus ke Makassar dan mengadakan perjanjian dengan I Mangngadaccinna Daeng I Ba’le’ Sultan Mahmud Karaeng Pattingalloang, yaitu Sultan Tallo yang menjabat mangkubumi bagi Sultan Malikussaid Raja Gowa tahun 1638-1654 yang akan menjadikan wilayah Kaltim sebagai tempat berdagang bagi Kesultanan Makassar (Gowa-Tallo) dengan demikian mulai berdatanganlah etnis asal Sulawesi Selatan (sulsel)
Sejak 13 Agustus 1787, Sultan Tahmidullah II dari Banjar menyerahkan Kaltim menjadi milik perusahaan VOC Belanda dan Kesultanan Banjar sendiri dengan wilayahnya yang tersisa menjadi daerah protektorat VOC Belanda.
Sesuai traktat 1 Januari 1817, Sultan Sulaiman dari Banjar menyerahkan Kaltim, Kalimatan Tengah (Kalteng), sebagian Kalimantan Barat (Kalbar) dan sebagian Kalimantan Selatan (termasuk Banjarmasin) kepada Hindia-Belanda.
Pada tanggal 4 Mei 1826, Sultan Adam al-Watsiq Billah dari Banjar menegaskan kembali penyerahan wilayah Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, sebagian Kalimantan Barat dan sebagian Kalimantan Selatan kepada pemerintahan kolonial Hindia Belanda.
Pada tahun 1846, Belanda mulai menempatkan Asisten Residen di Samarinda untuk wilayah Borneo Timur (sekarang provinsi Kalimantan Timur dan bagian timur Kalimantan Selatan) bernama H. Von Dewall.
Penulis: Intoniswan dari berbagai sumber | ADV Diskominfo Kaltim
Tag: HUT Kaltim