Penulis: Efda Mutia | Editor: Intoniswan
Ini seri ketiga tulisan Efda Mutia tentang putrinya Andini Tasya Putri. Andini lahir di Pekanbaru, Provinsi Riau, 23 Maret 2000, yang autis, atau dalam keluarga disebut anak spesial.
Dua tulisan sebelumnya adalah https://www.niaga.asia/andini-tasya-putri-pianis-autism-berprestasi/ dan https://www.niaga.asia/tips-punya-balita-autis/.
Pada tulisan ketiga ini, Efda Mutia bercerita tentang Andini saat menginjak usia 5 tahun
Umur 5 tahun Andini bisa sekolah TK sama seperti anak anak yang lain, harapan umum semua ibu tentunya. Demi menggapai kesembuhan dan bisa sekolah seperti teman-temannya. Saat usia Andini 4 tahun, kami bawa Andini ke Jakarta untuk mengikuti terapi dengan Prof. Hembing.
Tidak kesulitan mendapat jadwal pada Prof. Hembing yang terkenal antri pasien itu. Andini dapat jadwal terapi pagi-pagi setiap hari. Untuk pelaksanaan terapi, kalau urusan kepala akan diterapi langsung oleh Prof. Hembing sendiri. Tapi untuk terapi tangan dan kaki ada asisten Prof Hembing yang melakukan. Pada proses terapy ini Andini harus menjalani diet makanan yang ketat.
Berharap ada kesembuhan, kami mematuhi aturan diet itu walaupun kadang Andini menggeleng- geleng menyatakan ketidak sukaannya. Setelah 1 bulan Andini terapi dan memperoleh sedikit ilmu untuk terapi sendiri di rumah, kami kembali ke Pekanbaru.
Waktu berjalan dan Andini sudah memasuki usia 5 tahun, waktunya untuk masuk sekolah Taman Kanak-kanak. Saya juga ingin Andini bersekolah di TK dan memberanikan diri datang sebuah TK Alkarimah di Jl. Swakarya Panam, Pekanbaru, seraya berharap sekolah itu akan bertoleransi dengan kondisi Andini.
Waktu mendaftar, Saya ceritakan kalau Andini autis. Ketua yayasan, kepala sekolah dan guru guru tidak keberatan dengan catatan Saya harus mendampingi Andini di kelas, karena Andini masih hiperaktif dan suka mengganggu teman.
Di sekolah ini, alhamdulillah mulai ada harapan dan kemajuan. Andini sudah mulai bisa bicara dan bisa mengenal angka dan huruf Andini. Alhamdulillah. Kepala sekolah dan guru guru semuanya baik sekali, membuat Saya jadi terharu dan tak putus mengucap syukur pada Allah.
Guru-guru selalu bilang “Mama harus banyak Sabar, Andini itu pintar, Andini hanya butuh waktu lebih untuk belajar agar bisa menyamai teman-temannya”.
Tapi dibalik semua orang baik itu, ada juga wali murid yang tidak suka dengan keberadaan Andini di sekolah itu, tapi Saya berusaha tidak peduli, karena Andini selalu Saya dampingi. Saya akan pastikan kalau Andini tidak mengganggu siapapun. Jadi tidak ada alasan untuk menolak atau membenci kehadiran Andini di sekolah ini.
Sungguhpun demikian, hanya satu dua orang saja yang terlihat tidak suka, ternyata banyak juga wali murid yang sayang dan peduli pada Andini. Support orang baik yang sayang Andini ini membuat Saya jadi lebih semangat dan yakin bahwa Andini bisa seperti teman-temannya yang lain.
Selepas TK, usia Andini 6 tahun, waktunya masuk Sekolah Dasar (SD). Lagi-lagi saya kebingungan, kemana Andini bisa sekolah ya. Demi menuntaskan kebingungan itu, kami memutuskan untuk terlebih dahulu berkonsultasi ke psikolog.
Psikolog melakukan test IQ. Alhamdulillah IQ Andini normal. Tambahan dari psikolog, kemampuan bicara Andini sudah lancar tapi masih hiperaktif dan belum fokus. Psikolog menyarankan kalau Andini mau sekolah di SD Umum harus makan obat supaya Andini agak tenang dan tidak lari sana sini kalau lagi belajar.
Tapi keluarga besar kami melarang Andini makan obat. Saya bersyukur sekali, karena keluarga sangat peduli Andini, semua sayang Andini dan kalau Saya dalam kesulitan semua membantu. Keluarga memikirkan masa depan Andini. Akhirnya kami memutuskan agar Andini bersekolah di SLB, dan terhindar dari keharusan makan obat.
Awalnya Saya tidak mengerti tata cara sekolah di SLB seperti apa. Ternyata di Kelas Autis, murid dua orang, diajar oleh satu orang guru. Ini kelas yang dibutuhkan Andini. Sedikit murid dalam satu kelas, sehingga guru bisa fokus membimbing anak, Alhamdulillah.
Saya kemudian menyimak, di sekolah ini ada kelas anak tunarungu, tunagrahita, dan lain-lain, atau terpisah kelas untuk setiap diagnosa. Ini membuat anak-anak bisa fokus belajar. Tidak semulus anak-anak reguler, tetap saja ada insiden. Kalau Andini lagi tidak mau, belajar Andini duduk di luar kelas dulu sama Saya.
Guru mengalah dan bertoleransi, karena kalau dipaksa belajar Andini akan marah-marah. Bermain sebentar di luar, nanti Andini akan masuk kelas dan belajar lagi. Butuh kesabaran yang luar biasa dari guru dan orang tua tentunya untuk kemajuan ananda penyandang autis.
Tapi Saya ikhlas, karena yakin, Allah pasti punya rencana indah di balik semua keputusan-Nya. Bersekolah ternyata juga menampilkan aneka potensi Andini yang tidak kami ketahui sebagai orang tua, seperti tulisan Andini bagus dan rapi, puji gurunya.
Andini juga ternyata sangat disiplin, kalau ada PR, sesampai dirumah langsung dikerjakan. Hebat nya pengaruh seorang guru buat seorang anak, karena kalau Saya yang menyuruh Andini belajar, Andini malah menggeleng-geleng dan bilang, “tidak mauuu”.
Kesulitan lain saat bersekolah, Andini juga tidak suka kalau pada pelajaran matematika ada soal cerita, Andini sungguh tidak suka, sehingga macetlah di point matematik bercerita ini. Aneka kesulitan yang solusinya buat Saya cuma satu kata, Sabar Sabar dan sabaaarr……
Andini berhasil menyelesaikan pendidikan setingkat SD, SMP, dan SMA di SLB Pelita Hati, Jalan Merpati Sakti Gang Air Tabik No. 3 Simpang Baru, Kecamatan Tampan, Pekanbaru.@
Tag: AutisKisah Inspiratif