Oleh: Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran
Kementerian Keuangan memiliki visi lembaga yang luhur, “Memastikan belanja negara yang berkeadilan, efektif, efisien dan akuntabel”. Dari visi itu tergambar tujuan dari Kementerian yang menjadi wakil presiden untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang keuangan dan kekayaan negara, untuk mengoptimalisasikan belanja negara supaya dapat memberikan dampak bagi pembangunan nasional, termasuk menjunjung prinsip keadilan.
Kementerian Keuangan memiliki fungsi yang sangat penting bagi pengelolaan keuangan negara: mengelola pendapatan negara termasuk pajak, merumuskan kebijakan fiskal, mengelola aset negara dan banyak lainnya. Dalam menjalankan fungsinya Kemenkeu harus diisi oleh orang-orang yang profesional dan berkompeten pada bidangnya. Dengan tugas yang berat dan penting, maka diperlukan fokus kinerja yang baik.
Namun, dari pantauan Seknas Fitra, setidaknya terdapat 40 pegawai Kementerian Keuangan dari eselon I dan II yang merangkap jabatan, mayoritas menjadi Komisaris di BUMN dan anak perusahaan BUMN. Jika ditelaah secara lebih luas, rangkap jabatan ASN di BUMN tersebar hampir di seluruh Kementerian dan Lembaga (K/L). Temuan Seknas Fitra pada tahun 2021, minimalnya terdapat 95 aparatur negara atau 45% yang rangkap jabatan menjadi Komisaris BUMN.
Dalam pemantauan ini, Seknas Fitra akan fokus pada Kementerian Keuangan dikarenakan alasan yang telah diuraikan di atas, sekali lagi, karena Kementerian Keuangan memiliki fungsi dan peran yang penting dan vital bagi pengelolaan keuangan di Republik Indonesia.
Sedangkan, dengan adanya fokus kinerja yang bercabang (akibat rangkap jabatan), Seknas Fitra khawatir akan berdampak pada kinerja aparatur Kementerian Keuangan baik di lembaga dan di perusahaan plat merah.
Alasan lainnya, persoalan rangkap jabatan sejatinya telah melanggar regulasi sehingga kebijakan rangkap jabatan ini patut untuk dievaluasi kembali. Menjadi suatu alat pemerintah atau bisa disebut juga aparatur pemerintah, Aparatur Sipil Negara (selanjutnya disebut ASN) mempunyai kedudukan sentral dalam melaksanakan komponen kebijakan-kebijakan atau peraturan pemerintah untuk mencapai tujuan bersama secara nasional.
Kedudukan ASN dalam penyelenggaraan dan dalam melaksanakan penata kelolaan pemerintahan yang baik (good governance) sangatlah penting, yang membentuk ASN sebagai peserta penting dalam pencapaian tujuan kesejahteraan sosial. Sehingga profesionalitas dan tidak berpihak menjadi kunci dari pada ASN dalam menjalankan tugas serta kewajibanya, salah satunya mengenai hal rangkap jabatan sebagai komisaris BUMN.
Efektivitas Rangkap Jabatan dalam Kinerja BUMN
Kajian Seknas FITRA pada 2022, menemukan dugaan sejumlah 41 pejabat di lingkungan Kementerian Keuangan merangkap jabatan paling banyak sebagai Komisaris dan Direktur di BUMN. Hal ini menunjukkan, adanya indikasi rangkap penghasilan karena yang bersangkutan masih dalam status aktif menjabat secara stuktural.
Selain itu ditemukan ada dominasi beberapa Kementerian dan Lembaga tertentu dalam penempatan Komisaris di BUMN. Permasalahan tersebut dapat mempengaruhi kualitas dan kinerja K/L dan BUMN yang ditempati, sehingga masyarakat luas bahkan negara berpotensi kehilangan manfaat atas kondisi seharusnya.
Dalam kasus BUMN, temuan Ombudsman RI pada tahun 2020 menunjukkan ada 397 komisaris BUMN merangkap jabatan dan 197 komisaris anak perusahaan, terindikasi rangkap jabatan dan penghasilan.[1] Akibatnya, pelaksanaan dan pengawasan yang dilakukan berpotensi tidak optimal karena
adanya hubungan kedekatan emosional dengan yang diawasi, minimnya kompetensi dan tidak memiliki keahlian dengan jabatan yang didudukinya. Sehingga hanya menerima gaji saja tanpa melakukan apa-apa.
Di samping itu, hal tersebut bertentangan dengan Pasal 17 huruf (a) Undang – Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik (selanjutnya disebut UU Pelayanan Publik), disebutkan bahwa “pelaksana pemerintahan dilarang merangkap sebagai Komisaris/Pengurus Organisasi usaha bagi pelaksana yang dari lingkungan instansi pemerintah, BUMN dan BUMD.”
Konflik Kepentingan Penyakit Akut
Sejak disahkannya UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), ASN diakui sebagai sebuah profesi. Implikasi dari pengakuan tersebut adalah ASN kini wajib menginkorporasikan prinsip-prinsip keprofesian di dalam diri dan pekerjaannya. Sistem keprofesian selalu menyertakan kode etik (Dahl, 2015: 1), yang secara universal memuat keutamaan-keutamaan universal seperti integritas, jujur, amanah, dan bertanggung jawab.
Dalam rangka menjaga agar keutamaan tersebut tetap terpelihara, ASN wajib menghindari situasi dan kondisi di mana prinsip-prinsip profesionalitasnya tergadaikan. Salah satu ancaman yang paling nyata dan terang adalah konflik kepentingan (conflict of interest).
Sebagai orang yang bekerja di sektor publik dan tindak tanduknya berkaitan erat dengan hajat masyarakat umum, ASN adalah pekerjaan yang sangat rawan dengan jebakan dan perangkap konflik kepentingan. Kepentingan publik begitu luas dan umum.
Seringkali kepentingan publik tersebut berseberangan dengan kepentingan privat, entah itu kepentingan pribadi, keluarga, sejawat, kelompok, maupun golongan. Ketika keduanya berseberangan, dan ASN dituntut untuk bertindak atau membuat keputusan di tengah persimpangan tersebut, maka hadirlah konflik kepentingan secara aktual.
Berdasarkan uraian diatas, pejabat/ASN Kementerian Keuangan yang merangkap jabatan di BUMN melanggar Pasal 1 ayat (14) UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang berbunyi; “Kondisi Pejabat Pemerintahan yang memiliki kepentingan pribadi untuk menguntungkan diri sendiri dan/atau orang lain dalam penggunaan Wewenang sehingga dapat mempengaruhinetralitas dan kualitas Keputusan dan/atau Tindakan yang dibuat dan/atau dilakukannya” dan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur dan Reformasi Birokrasi (PerMenpan RB) No 12 Tahun 2016 tentang Pedoman Umum Penanganan Konflik Kepentingan yang berbuyi “Situasi di mana Penyelenggara negara memiliki atau patut diduga memiliki kepentingan pribadi terhadap setiap penggunaan wewenang sehingga dapat mempengaruhi kualitas keputusan dan/atau tindakannya.”
Jika dibiarkan konflik kepentingan ini dapat mengakibatkan penyalahgunaan wewenang oleh pejabat negara dan melemahkan kepercayaan masyarakat pada institusi publik tersebut. Konflik kepentingan jika tidak dicegah bisa menjadi pintu masuk bagi praktik KKN, yang akan merugikan lebih banyak pihak.
Rendahnya Kontribusi BUMN pada APBN
Jumlah BUMN mengalami penurunan dari tahun 2021 ke tahun 2022, dari 142 menjadi 91. Faktornya karena holding. Pada tahun 2022, dari 91 BUMN di Indonesia (79 Persero dan 12 Perum) yang tersebar di 12 sektor Industri dengan total nilai Kekayaan Negara Dipisahkan yang diinvestasikan kepada BUMN sebesar Rp2.469 Triliun (s.d. tahun 2021).
Namun secara kontribusi langsung pada APBN relative tidak berdampak signifikan. Dari 91 BUMN, sebagai contoh pada tahun 2020 hanya 11 BUM yang memberikan kontribusi signifikan pada pendapatan negara. Hal serupa untuk tahun 2022, dari 37 T, 25 T berasal dari Bank Himbara.
Negara mengeluarkan lebih banyak anggaran untuk BUMN
Di sisi lain, sekalipun konstribusi BUMN tidak signifikan, setiap tahunnya pemerintah memberikan Penyertaan Modal Negara. Sejak 2020 hingga 2023, total PMN bagi BUMN sebesar Rp 205T. Sedangkan total deviden bagi negara Rp 161,4 T.
Negara lebih banyak memberikan kepada BUMN sebesar 43,9 T. Sekalipun, dalam kasus tertentu, pada tahun 2021 fokus dari PMN untuk upaya pemulihan ekonomi akibat Covid-19.
Tidak Maksimalnya Peran Pengawas BUMN
Selain itu, berdasarkan statistik tindak pidana berdasarkan instansi, sejak tahun 2004-2022 terdapat 119 kasus korupsi yang menjangkiti BUMN dengan total kerugian Rp 47,9 triliun.[2]Dari data di atas menunjukan ketimpangan antara kontribusi dan belanja negara untuk BUMN.
Kemudian persoalan lainnya dalam internal BUMN, seperti korupsi, pengelolaan yang buruk sehingga menyebabkan kerugian, kinerja pelayanan yang buruk. Namun di sisi lain, akibat rangka jabatan, BUMN membayarkan remunerasi sebesar Rp 180 Miliar.
Secara umum Komisaris merupakan jabatan tertinggi di dalam sebuah perusahaan, mereka bisa bertindak sebagai pemilik perusahaan atau pemilik saham. Dalam Pasal 114 UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, tugas komisaris adalah mengawasi kegiatan perusahaan, bertanggung jawab atas kerugian perusahaan atas kelalaiannya, dan juga memberikan nasihat kepada direksi atau pimpinan perusahaan. Pengangkatan seorang Dewan Komisaris akan diputuskan di dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
Komisaris tidak boleh memiliki permasalahan keuangan, pailit, atau beberapa potensi lainnya yang dapat membuat perusahaan rugi atau bangkrut. Dalam kasus BUMN, peran Komisaris atau Dewan Pengawas cukup startegis, sehingga menjadi keharusan jika Komisaris di BUMN memiliki kemampuan yang sesuai dengan sektor bisnisnya.
Berdasarkan pemantauan Ombudsman RI terhadap maladministrasi Rangkap Jabatan Komisaris BUMN pada 2020, potensi maladministrasi dalam proses Rekrutmen atau Pengangkatan Komisaris BUMN, yakni pada konflik kepentingan, diskriminatif, tidak transparan, dan tidak akuntabel berpotensi terjadi di tubuh BUMN, hal tersebut tentu akan berdampak pada kinerja BUMN.
Oleh sebab itu perlu juga mendorong Komisaris atau Dewan Pengawas memiliki kontrak kerja atau Key Performance Index (KPI). Minimal bagaimana komisaris dan Dewan Pengawas bisa bertanggung jawab jika terdapat korupsi atau fraud di dalam BUMN tersebut.
Peran Serta Masyarakat dalam Pelayanan Publik
Masyarakat memiliki peran dalam penyelanggaran pelayanan publik dimulai dari proses penyusunan standar pelayanan sampai dengan evaluasi dan penghargaan. Ketentuan itu diatur dalam Pasal 39 ayat (1) UU Pelayanan Publik.
Sehingga apabila ditemukan pelanggaran dalam aparatur pelaksana pelayanan publik maka masyarakat berhak mengadukan kepada penyelenggara layanan, Ombudsman, DPR RI dan DPRD. Pengaduan masyarakat telah dijamin dalam UU Pelayanan publik yang juga mengatur lingkup aduannya, yaitu terhadap penyelenggara yang tidak melaksanakan kewajiban dan/atau melanggar larangan dan pelaksana yang memberi pelayanan yang tidak sesuai dengan standar pelayanan.
Dalam hal rangkap jabatan, pelaksana layanan telah melanggar ketentuan Pasal 17 huruf (a). Telah diatur juga dalam UU Pelayanan publik, bahwa Penyelenggara atau pelaksana yang melanggar ketentuan, termasuk pelarangan rangkap jabatan, maka sanksinya adalah pembebasan dari jabatan.
Rekomendasi
Atas permasalah tersebut, Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) meminta;
Menteri BUMN mengkaji temuan masyarakat sipil atas rangkap jabatan ASN Kementerian keuangan di tubuh BUMN yang berpotensi merugikan masyarakat luas dan negara karena diduga tidak memiliki kompetensi yang dapat mendongkrak kinerja BUMN tersebut.
Sebab, demi meningkatkan daya saing BUMN dalam menjalani suatu persaingan usaha yang semakin berat serta semakin ketat, terkhusus di dalam era globalisasi seperti sekarang ini, dalam pengelolaan BUMN khususnya dalam pengelolaan sumber daya harus memiliki kehandalan, profesionalisme, integritas, dan dedikasi dan sumber daya manusia yang kompeten.
Menteri BUMN mencabut regulasi yang menciptakan ketidakpastian dalam pelarangan rangkap jabatan, mendorong keterbukaan dalam proses rekrutmen/pengangkatan Komisaris BUMN dan meningkatkan pengawasan terhadap kinerja BUMN sesuai dengan Surat Edaran Nomor SE-9/MBU/09/2021 tentang Evaluasi Kinerja Anggota Dewan Komisaris atau Dewan Pengawas BUMN.
Menteri Keuangan harus menetapkan status ASN yang memiliki rangkap jabatan karena ASN tersebut mendapatkan gaji ganda, hal ini bertentangan dengan semangat Kementerian keuangan untuk menjaga kualitas belanja publik. Sehingga, pegawai Kementerian Keuangan yang rangkap jabatan harus mundur dan fokus pada peningkatan kinerja dan pelayanan publik di Kementerian Keuangan sesuai dengan tugas dan fungsi lembaga.
Menteri Keuangan juga bisa memberikan sanksi administratif ringan hingga berat kepada ASN yang merangkap jabatan di BUMN tanpa sepengatahuan pimpinan lembaga sesuai dengan UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Ombudsman RI harus menindak tegas temuan rangkap jabatan di BUMN oleh ASN di Kementerian Keuangan, dengan memberikan teguran keras kepada menteri BUMN dan Keuangan atas kelalaian sebagai pimpinan lembaga.
Dan meminta menteri BUMN dan menteri Keuangan membuat peraturan internal mengenai kode etik sebagai dasar hukum bagi organisasi untuk melakukan pencegahan dan penanganan mengenai etika atau perilaku yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan di masa mendatang. Dan mendorong pengelolaan dan pengawasan BUMN dilakukan oleh pihak-pihak yang berkompeten.@
*) Seknas Fitra adalah Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran
[1]https://ombudsman.go.id/artikel/r/artikel–benturan-kepentingan-sebagai-bentuk-maladministrasi di akses pada 2023
[2]Tren Penindakan Kasus Korupsi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) 2016 – 2021 dikeluarkan oleh ICW
Tag: Opini