Cerpen Karya: Efrinaldi
Jumat malam badanku terasa pegal-pegal. Kegiatanku seminggu itu sangat padat. Aku pikir dipijat dapat menyegarkan tubuhku kembali. Pada istriku, aku pamit ke panti pijat.
“Ke mana Uda mau pergi dipijat?” tanya istriku.
“Panti pijat di perempatan,” kataku.
“Baguslah di situ, kelihatannya bersih dan lingkungannya baik-baik-baik saja,” balas istriku.
Aku berjalan menuju panti pijat. Hanya seratus meter dari rumahku. Sesampai di panti pijat aku mengucapkan salam. Ada orang membalas dari dalam. Tak lama kemudian seorang lelaki membukakan pintu.
“Silakan masuk!” ujarnya ramah.
Dia mempersilahkan aku duduk dan bertanya,
“Apa Bapak mau dipijat?” tanyanya.
“Iya, saya sendiri,” jawabku
“Baik, berarti lelaki. Saya sendiri yang akan memijat,” katanya.
Dia mempersilahkan aku masuk ruang pemijatan. Ruang itu ada dua tempat pemijatan yang dibatasi tirai dari kain.
“Sudah siap dipijat, Pak?” tanya pemijat.
“Ya sudah,” jawabku sambil membaringkan diri di tempat tidur berseprai bersih.
Pemijat mengambil minyak urut. Dia menuangkan ke tangannya. Dengan bismillah dia memulai memijat kakiku.
Lima belas menit berlalu, ada suara HP berdering. Bapak pemijat menghentikan pijatannya dan mengangkat HP-Nya.
“Ya, Ayah ini,” katanya
“Ayah, kapan Ayah pulang?” tanya seseorang dari seberang sana. Terdengar samar-samar seperti suara anak perempuan kecil.
“Senin Ayah pulang,” jawab Sang Ayah.
“Belikan tas baru ya, Ayah” pinta Sang Anak.
“Ya, nanti Ayah belikan,” jawabnya
“Ayah lagi apa?” tanya anak.
“Ayah sedang bekerja, Nak!” jawab ayah..
“Ditunggu Ayah pulang dan tas barunya,” kata anak
“Iya, tunggu Ayak pulang,” jawab ayah.
Telepon terhenti.
“Maaf, anak saya menelepon tadi,” katanya seperti ada rasa bersalah.
“Tidak apa-apa, Kang,” kataku.
Pemijat itu kembali memijitku.
Dia memperkenalkan dirinya bernama Yanto. Dia menceritakan bahwa anaknya seorang, perempuan, kelas tiga SD. Anaknya itu sangat manja padanya. Namun, kebersamaan dengannya terbatasi karena dia bekerja di Kota Bandung sebagai pemijat. Sementara istri dan anaknya tinggal di sebuah desa di Kabupaten Garut.
*
“Boleh tahu bagaimana Yanto bisa menjadi pemijat,” tanyaku.
Dia mulai bercerita. Ketika dia kelas lima SD dia menjadi buta karena sakit. Dia tidak menceritakan sakit apa. Sejak itu seperti hilang masa depannya. Namun, penglihatannya masih tersisa 10-20%.
Dia masih bisa melihat jalan, sehingga dia bisa berjalan di jalan tanpa bantuan orang lain. Namun dia memakai tongkat juga, sebagai tanda bagi orang lain kalau dia orang yang tidak awas lagi matnya.
Tiga tahun dia hanya di rumah saja. Suatu ketika ada orang yang membawanya sekolah di SLB Tuna Netra di Kota Bandung. Dia belajar di sana. Banyak juga mata pelajaran diajarkan. Kemudian dia mengambil spesialisasi keterampilan memijat.
Setelah selesai sekolah, dia bersama dua orang temannya yang sama-sama tuna netra membuka panti pijat. Seorang temannya laki-laki dan seorang lagi perempuan. Jadilah mereka bertiga membuka praktek pemijatan untuk kebugaran.
Dua tahun berjalan, panti mereka cukup laris. Dia berniat menikah. Dia pulang ke desanya di Kabupaten Garut. Dia mempersunting seorang wanita yang matanya normal. Pernikahan mereka berjalan baik-baik saja. Kini telah menginjak tahun ke 10 di menikah.
“Syukurlah, Yanto. Semoga pernikahannya langgeng dan rezekinya lancar!” kataku
“Aamiin …! Terima kasih doanya, Pak! balasnya.
Tak terasa telah 90 menit aku dipijat.
“Sudah selesai, Pak!” tukasnya sambil meletakkan botol minyak urut ke rak.
Aku pun berpakaian lengkap kembali. Setelah membayar jasa pijat aku pamit pulang.@
Tag: Cerpen