NUNUKAN.NIAGA.ASIA — Pahlawan tanpa jasa pantas disematkan kepada para tenaga pengajar relawan Wahana Pendidikan Perbatasan (WPP) Nunukan, yang fokus bertugas menyasar anak buta aksara dan putus sekolah agar tetap mendapat pendidikan secara gratis.
Serlina (19), salah seorang tenaga pengajar WPP Nunukan mengatakan, sebagian anak yang mengikuti pendidikan di WPP belum pernah mengenyam pendidikan, baik formal maupun non formal.
“Sebagian murid WPP adalah anak eks Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang pulang ke Nunukan dan belum pernah bersekolah,” kata Serlina kepada niaga.asia, Selasa 2 Mei 2023.
Menjadi guru anak buta aksara adalah kebanggaan dan tantangan bagi Serlina, yang sejak tahun 2020 bergabung bersama relawan WPP. Perempuan muda itu rela membagi waktu sekolah dan mengajar demi kemajuan pendidikan.
Sistem belajar dan mengajar relawan WPP Nunukan lebih mengedepankan kebersamaan dan keakraban. Karena itulah tidak salah jika sebutan guru dan murid diganti dengan kalimat kakak dan adik.
“Mengajar anak buta aksara agak susah. Tidak mungkin dipaksakan, harus mengerti hidup ini dan angka dengan cepat. Butuh proses panjang agar mereka betah belajar,” ujar Serlina.
Beberapa alat bantu, termasuk jari-jari tangan dimanfaatkan untuk mempermudah belajar menghitung. Menariknya, meski tidak mengenal angka dan huruf, namun anak-anak ini mampu menghitung jumlah uang dengan tepat.
Tidak sedikit para buta aksara berusia belasan tahun dan sudah bekerja, menolak ketika diajak mengikuti pendidikan dengan alasan malu jika bergabung dengan anak-anak usia Sekolah Dasar (SD).
“Ada murid saya berusia 15 tahun, awalnya malu ikut belajar. Lalu kita buatkan kelompok untuk anak usia belasan dan kelompok usia dibawah 10 tahun,” terang Serlina.
Kesal dan bosan pernah menghampiri pikiran Serlina, yang lelah mengajar anak buta aksara. Namun karena memiliki cita-cita menjadi guru, dia tetap teguh menjadi kakak pengajar.
Tidak sedikit murid buta aksara yang mengikuti pendidikan di WPP bekerja sebagai buruh pengikat rumput laut. Anak-anak itu pergi bekerja ikut orang tua dari pagi buta hingga siang atau sore hari.
“Waktu belajar di WPP sore hari menyesuaikan jadwal anak-anak pulang kerja. Kita siapkan juga waktu bermain agar tidak merasa bosan,” jelas Serlina.
Sama halnya dengan Serlina, Masyita (22) bergabung dengan komunitas WPP Nunukan sejak tahun 2020 lalu. Selama menjadi guru, tidak sedikit pengalaman suka dan duka menghadapi murid buta aksara.
“Awalnya saya bergabung di PMI, lalu kakak-kakak WPP Nunukan bergabung menjadi relawan mencerdaskan anak bangsa di perbatasan,” bebernya.
Sejumlah murid WPP yang dinyatakan telah mengenal huruf dan angka dengan baik, difasilitasi untuk mendapatkan ijazah paket A, B dan C. Ada pula yang mengikuti pendidikan di sekolah negeri dan swasta.
Dalam catatan data WPP Nunukan, 18 orang anak buta aksara yang telah pandai membaca dan menghitung dinyatakan lulus dalam mengikuti ujian paket A, 8 orang paket B dan 6 orang lainnya mengikuti paket C.
“Ketika mereka tersenyum bisa membaca dan menghitung, di situlah ada rasa kebahagian bagi kami bahwa hidup ini harus bermanfaat bagi orang lain,” ungkapnya.
Sejarah Berdiri WPP Nunukan
Keberadaan WPP Nunukan berawal dari rumah belajar yang didirikan seorang personel Polri, AKP I Eka Berlin tahun 2016, yang saat itu menjabat sebagai Kapolsek Kawasan Pelabuhan Tunon Taka Nunukan, dengan motto mencerdaskan anak bangsa di perbatasan Indonesia.
“Dari rumah belajar berkembang jadi warung Kamtibmas, kemudian tahun 2020 berkembang menjadi WPP yang lingkupnya lebih luas,” kata Eka Berlin.
Literasi dan numerasi merupakan dasar kemampuan memecahkan masalah dalam kehidupan, sebagai pondasi untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan agar anak-anak mampu berkomunikasi dan bersosialisasi dengan baik di masyarakat.
WPP Nunukan berupaya memberikan pendidikan bagi anak tidak mampu dan putus sekolah, agar kembali bersekolah dengan cara bantuan perlengkapan sekolah, administrasi kependudukan dan pendampingan.
“Relawan WPP Nunukan berbagai ragam mulai anak bersekolah, mahasiswa dan karyawan atau pekerja, mereka bekerja tanpa imbalan,” demikian Eka Berlin.
Penulis : Budi Anshori | Editor : Saud Rosadi
Tag: KaltaraKisah InspiratifNunukanPendidikanRelawanRelawan IndonesiaViral