DNA Misman Sang Penerima Kalpataru Memang ‘Sampah’

Misman memungut ban motor di lantai sungai Karang Mumus segmen Muang. (Foto GMSSSKM

SANG  penerima anugerah lingkungan tertinggi Kalpataru kategori perintis lingkungan asal Kaltim, Misman RSU, sejak puluhan tahun lalu memang memiliki Asam Deoksiribonukleat (DNA) berisi ‘sampah’ yang dimaknai selalu memerangi sampah, di mana dan kapanpun.

33 tahun lalu sebelum lelaki yang dijuluki ‘Primus’ (pria Karang Mumus) itu berjuang memerangi sampai di Sungai Karang Mumus dengan membentuk Gerakan Memungut Sehelai Sampah di Sungai Karang Mumus (GMSS-SKM) tahun 2016, dia sudah memerangi sampah lewat pentas Teater.

Tepatnya tahun 1983 lalu, bersama Teater 2, Misman mementaskan repertoar yang berjudul ‘Sang Puntung’ di Auditorium Unmul Gunung Kelua. Materi cerita tentang sampah dan filosofinya yang diperankan dirinya, Wawan Timor dan Eko Mujani, dimainkan dengan kemampuan akting yang bagus.

“Saya ingat, waktu itu kami membawakan cerita tentang batapa bermasalahnya sampah bagi kehidupan, meskipun pada awalnya sampah itu cuma disebabkan oleh puntung rokok,” ungkap lelaki yang berusia 64 tahun itu.

Misman memang dalam berbagai aktifitas berkeseniannya ketika itu selalu menyelipkan pesan lingkungan, terutama sampah dan masalahnya.

Aktifitas GMSSSKM bersama masyarakat menghijaukan dan merawat pohon yang sudah ditanam di riparian Sungai Karang Mumus (Foto GMSSSKM)

Kenapa?

“Saya lahir dan hidup di bantaran Karang Mumus yang setiap saat aliran sungainya dipenuhi sampah. Saya menyaksikan dan merasakan sungai kehidupan itu tercemar dan kadang airnya meluap karena pendangkalan akibat sampah,” papar pensiunan Taman Budaya Kaltim ini.

Penulis buku ‘Sandiwara Tingkilan (Sankilan)’ itu menganggap fenomena buruk yang terjadi itu membahayakan ekosistem kehidupan manusia, flora dan fauna di SKM dan sekitarnya.

Tanpa didorong pihak manapun dan hanya digerakkan hati nurani, pada awalnya, Misman beraktifitas sendiri membersihkan SKM dari sampah, jauh dari publikasi. Nyaris seperti ‘orang gila’.

“Mas Misman itu gila. Membersihkan sampah SKM hanya seorang diri. Hati saya tergerak mendukung kegilaannya itu,” cetus Abdul Basyith yang kini sudah almarhum, satu ketika.

Pada gilirannya, Misman memang mengakui, mustahil gerakannya itu dilakukan sendiri.

“Saya harus mengajak kepada teman-teman yang punya kesamaan idealis dalam masalah penanggulangan sampah SKM,” imbuhnya kepada niaga.asia, Selasa (30/5).

Pada tahun 2016, tepatnya tanggal 27 Januari 2016, di hadapan Notaris HM. Sutamsis, SH., MH., M.Kn., LSM Gerakan Memungut Sehelai Sampah di Sungai Karang Mumus (GMSS-SKM) mendapatkan akta 19.

Tercatat sebagai pendiri adalah: Intoniswan, Bachtiar, Saefuddin Zuhri, Endro Surip Effendi, Abdul Basyith, Misman, Muhammad Ghofar dan Mohammad Roghib. Dengan pengurus harian: Ketua Misman, Sekretaris Muhammad Ghofar dan Bendahara Mohammad Roghib.

Setelah puluhan tahun Misman bergerak sendiri dan kini didukung GMSS-SKM serta pihak lainnya telah memiliki pangkalan pungut di Jln Abdul Muthalib, Samarinda dan Sekolah Sungai di Muang, Samarinda Utara, dan fasilitas pendukung lainnya, berupa perahu ketinting, serok sampah, baju keselamatan, terus beraktifitas menjaga dan melestarikan SKM.

Sampai kapan?

“Saya akan mengabdikan  diri di SKM sampai Allah menjemput saya. Karena persoalan lingkungan di SKM dengan segala permasalahan tidak akan selesai sampai ratusan tahun kemudian. Yang kami lakukan sekarang adalah gerakan penyadaran kepada masyarakat dan pemerintah betapa pentingnya SKM dalam ekosistem kehidupan. Bukan hanya untuk manusia, tapi juga untuk habitat flora dan fauna yang ada di SKM,” ungkapnya panjang lebar.

Sejak beraktifitas di SKM hingga dia dianugerahi Kalpataru, dirinya mengakui kerap menghadapi pro dan kontra.

“Terkadang saya harus berhadapan dengan pemerintah, terutama dalam hal penataan bantaran SKM. Tapi semua untuk kebaikan. Pemerintah dalam penataan bantaran punya konsep sendiri, kami juga punya. Tapi itu bukan soal. Semua itu bisa diselaraskan ketika duduk satu meja,” pungkasnya.

Ny. Keinan Hermanto memungut sampah di permukaan sungai Karang Mumus yang bercampur olie bekas. (Foto GMSSSKM() GMSSSKM)

Menurut Misman, dari dua tuntutannya ke Pemerintah Kota Samarinda baru satu yang dikabulkan, sedangkan dua lainnya belum dikabulkan. Tuntutan yang sudah dikabulkan yakni menuntut rumah potong ayam di Pasar Segiri, sehingga sekarang tidak ada lagi yang membuang limbah ayam potong ke sungai Karang Mumus.

“Sebelum rumah potong ditutup, berkarung-karung kita memungut limbah ayam potong, termasuk ayam sudah mati dan bulu ayam, isi perut ayam,” katanya.

Tuntutan kedua yang belum dikabulkan adalah, pertama;  menetapkan bantaran sungai, 20 meter kawasan kiri-kanan sungai Karang Mamus sepanjang 17 kilometer hingga ke pintu air waduk Benangan ditetapkan Pemkot Samarinda sebagai kawasan hijau, atau zona merah dalam RTRW Kota Samarinda.

Sedangkan satu harapan GMSSSKM terhadap Pemkot Samarinda adalah sisi kiri kanan sungai Karang Mumus tidak semuanya diturap Pemkot Samarinda menggunakan beton, karena beton akan menghalangi air saat pasang atau air kala banjir meresap ke dalam tanah, begitu juga makhluk hidup yang tinggal di sungai terhalang keluar masuk tanah di kiri kanan sungai.

Daftar kegiatan yang sudah dikerjakan GMSSSKM selama 8 tahun adalah:

  • Pungut sampah di permukaan sungai Karang Mumus
  • Pungut sampah di lantai sungai Karang Mumus
  • Pembersihan hulu sungai Karang Mumus dari potong-potongan kayu bekas
  • Penghijauan bantaran sungai Karang Mumus di Muang Ilir
  • Mendirikan Sekolah Sungai di Muang Ilir
  • Fasilitasi mahasiswa dalam menyusun skripsi terkait sungai Karang Mumus
  • Penyuluhan dan sosialisasi kebersihan dan kesehatan sungai ke sekolah-sekolah
  • Wisata susur Sungai Karang Mumus

Penulis: Hamdani | Editor: Intoniswan

Tag: