Saya bekerja selama hampir 30 tahun jadi karyawan. Pernah mengalami pencarian diri lima tahun pertama dengan ganti-ganti tempat kerja.
Berhenti bekerja saya berpikir jadi pengusaha saja. Sempat membuat denah merubah rumah orang tua saya jadi pabrik kosmetik. Melaporkan ke dinas perindustrian kabupaten kampung halaman saya. Datang petugasnya dan dilihat belum ada apa-apa. Mereka bilang, jalankan saja usahanya, jangan terlalu banyak mikir, bahkan regulasi nanti bisa menyesuaikan. Setelah benar-benar dipikirkan, aku mundur. Dana dari mana?
Akhirnya beternak ayam negeri sebanyak 750 ekor bersama kakak yang menjadi guru. Dasar saya tidak suka pekerjaan kotor-kotor, tidak membuat saya terikat untuk melanjutkan.
Setelah dapat pacar baru, saya mikirnya cari jalan mudah saja, jadi karyawan lagi.
Sebulan sejak perkenalan, saya sudah dipanggil tempat kerja baruku yang ternyata bertahan sampai saya pensiun di usia 56 tahun di tahun 2020.
Begitu pensiun, banyak teman yang bekerja lagi di perusahaan kecil. Saya tidak tertarik. Saya mau mengejar atau melengkapi apa yang belum saya rasakan atau belum tercapai di masa lalu.
Saya pulang kampung tahun 2021. Bertani dan memelihara ikan. Ternyata kembali saya rupanya tidak suka pekerjaan berkotor-kotor. Tidak jadi menjadi petani profesional, hanya sebatas mengisi waktu.
Tahun 2022 diajak teman sekolah menulis, saya ikut. Rupanya saya menikmati, saya dapat predikat Penulis Terbaik dari lembaga itu. Saya jadi penulis.
Tahun 2023 terbit buku pertama saya. Awal tahun 2024 ini bertemu teman masa SMA mengajak saya jadi penulis di koran onlinenya. Saya jadi cerpenis yang dapat bayaran. Tahun ini juga terbit dua novel saya. Sayang belum laris dijual.
Kini saya tidak terlalu banyak terusik sebab, sekeliling saya adalah orang kebanyakan yang hidup apa adanya. Ya, santai seperti orang Indonesia kebanyakan.
Dalam kesantaian, saya jadi suka mengamati kehidupan manusia dari berbagai macam status sosial, pendidikan dan skala usaha yang digelutinya. Ternyata sesederhana apapun seseorang itu, tetap ada prinsip dasar yang dipegangnya, sehingga dia tetap berhasil menjadi orang yang berbahagia.
Istri saya dan juga saya dulunya orang kampung. Istri dulu kuliah pendidikan dunia usaha di Universitas Riau. Dia apik soal duit. Dia liat dalam hidup yang terbatas.
Begitu pulang kampung kami langsung set-up hidup sederhana. Istri beli sarapan pagi lontong sayur seharga tiga ribu seporsi. Kami membeli sepeda motor sehingga hemat bahan bakar minyak. Saya nongkrongnya di warung kopi kampung dengan kopi seharga tiga ribu segelas.
Kami memelihara kebun. Sesekali diupahkan. Istri mencari tenaga kerja yg hemat biaya. Biasanya orang tua yg miskin yg mau diupah kecil. Toh untuk menyiang tanaman tak butuh orang mahir dan kerja cepat. Istri menjual sendiri hasil kebun dengan menaruh di tepi jalan depan rumah. Jadi terhindar dari permainan cukong hasil kebun.
Ya, begitulah! Kami beradaptasi dengan kehidupan.
Ketika kita tidak seproduktif dulu lagi, cara yang dapat dilakukan adalah berhemat.
Namun, kami tidak mengabaikan yang penting dalam hidup kami. Kami secara berkala piknik dan membeli sesuatu yang kami butuhkan, bahkan yang kami senangi walau tidak butuh-butuh amat. Kami menjenguk cucu ke Bandung setahun sekali dan belanja pakaian di tempat favorit kami.
Hidup harus dihayati dan dinikmati! Simple saja!
Tag: Cerpen