
SAMARINDA.NIAGA.ASIA – Pagi ini, Senin (31/3), ribuan jemaah berbondong-bondong menuju Masjid Raya Baitul Muttaqien, Islamic Center Samarinda, Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim), hanya untuk menunaikan salat Idul Fitri 1446 Hijriah.
Di antara lautan manusia yang mengenakan pakaian serba putih dan juga berwarna-warni, seorang perempuan tua berjalan perlahan, ditemani cucunya, Yenny Diah, nenek berusia 71 tahun ini tampak tenang, tetapi ada rindu yang mendalam di dalam hatinya.
“Ini sudah dua kali salat Idul Fitri di Islamic Center Samarinda. Pertama kalinya itu dulu bersama almarhum suami,” ujar Yenny Diah, matanya menerawang seakan mengingat masa lalu.
Lima belas tahun yang lalu, Nenek Yenny dan suaminya berjalan kaki dari kediaman mereka di Jalan Muhammad Said, Kelurahan Lok Bahu, Kecamatan Sungai Kunjang, menuju Islamic Center.
Saat itu kata Yenny Diah, masjid ini belum semegah sekarang.
“Dulu, ngengkol (istilah; jalan kaki), sekitar lebih dari 1 kilometer. Itu sudah lama sekali, rasanya saat zaman Pak Awang Faroek Ishak masih menjadi gubernur,” katanya sambil tersenyum mengenang perjuangan mereka waktu itu.

Sang suami, yang akrab disapa Kai Lukman, adalah sosok yang pertama kali mengajak Nenek Yenny ke masjid ini untuk salat Idulfitri.
“Ayo ke Islamic, ding, katanya gitu, kepingin dia kesini,” terangnya menirukan ajakan suami waktu itu. Kini, setelah 15 tahun, Nenek Diah kembali lagi, kali ini bersama cucunya. “Kalau hari ini diajakin cucu,” tambahnya.
Namun, momen ini tak bisa lepas dari rasa haru. Saat melangkah memasuki masjid yang dapat menampung 40 ribu jemaah tersebut, rupanya, kenangan bersama suami kembali membanjiri pikirannya.
“Ya pastilah. Pasti kita terpikir lagi ke situ, ingat-ingat masa lalu,” katanya lirih. Mereka menikah pada tahun 1997, tetapi sang suami telah berpulang pada tahun 2018.
Tahun ini, ketika cucunya mengajak untuk kembali merasakan salat Idul Fitri di Islamic Center. Nenek Diah mengaku langsung saja mengiyakan ajakan tersebut.
“Kepingin. Ah coba lagi setelah nggak ada Kai, kayak apa ya rasanya?” ungkapnya.
Rasa penasaran itu terjawab ketika dia melihat betapa ramainya masjid pagi itu.
“Ramai banget pas masuk Islamic Center Samarinda,” katanya dengan nada kagum.
Di usianya yang tak lagi muda, Nenek Yenny hanya berharap bisa diberikan umur panjang agar bisa kembali merasakan Ramadan dan Idul Fitri di tahun-tahun berikutnya.
“Semoga kita diberi panjang umur sampai bisa melihat bulan Ramadan tahun depan, sehat dan kuat, jadi yang lebih baik lagi lah, ditingkatkan lagi lah kesehatan dan keimanan kita, insya Allah, ibadah jangan ditinggal,” harapnya.
Baginya, Idulfitri adalah momen penuh makna, bukan sekadar perayaan, tetapi juga ajang untuk saling memaafkan dan mempererat silaturahmi.
“Bagi kita seorang muslim, ini ada hari saling memaafkan. Saling minta maaf, memaafkan. Kita saling bersilaturahim,” katanya penuh keyakinan.
Di akhir perbincangan, Nenek Yenny tak lupa mengirimkan doa untuk suaminya yang telah tiada.
“Ya, semoga di sana dia ditempatkan di sisi Allah, diterangkan kuburnya, diluaskan kuburnya ya Allah. Saya juga berdoa untuk semua yang sudah mendahului kami,” doanya dengan mata yang sedikit berkaca-kaca.
Di antara riuhnya takbir dan kebersamaan keluarga yang merayakan hari kemenangan, ada kisah-kisah haru yang tak bisa terucap. Bagi Nenek Yenny, setiap langkahnya di Masjid Islamic Center Samarinda adalah jejak kenangan, sebuah perjalanan yang kini ia lanjutkan bersama generasi penerusnya.
Penulis: Lydia Apriliani | Editor: Intoniswan
Tag: Idulfitri