Cerpen Karya: Efrinaldi
Suatu sore istriku masuk terburu-buru dari halaman rumah.
“Kini masanya aku kasih pelajaran anak-anak itu,” kata istriku setengah berteriak.
“Ada apa?” tanyaku.
Dia menarik tanganku ke luar rumah menuju kebun.
“Lihatlah, anak-anak remaja itu membuat bangku di bawah pohon di kebun kita. Ini pasti akan dipakai buat pacaran!” kata istriku sengit.
Kulihat memang telah terbangun bangku dari bambu, hampir selesai.
Kemudian anak-anak itu datang ke kebun. Istriku melihat dari jendela rumah. Istriku keluar rumah dan menuju kebun.
“Kalian bongkar bangku ini. Tidak boleh membuat bangku di kebun orang!” jelas istriku tegas.
Anak-anak itu berlarian pergi. Aku mendekati kebun. Di sana ada tertinggal palu dan paku. Tentu itu milik mereka.
“Sandra saja palunya, nanti kasih mereka pelajaran ketika mau menjemput palunya,” kataku.
Istriku setuju.
Ketika mereka menjemput palunya, istriku memberi wejangan. Pertama, soal tidak boleh melakukan sesuatu tanpa izin di pekarangan orang lain. Kedua, tidak boleh pacaran di tempat tersembunyi. Ketiga, yang utama bagi seusia mereka adalah belajar, bukan bermain.
“Bagaimana reaksi mereka?’ tanyaku pada istriku.
“Mereka seperti ketakutan,” jelasnya.
“Mudah-mudahan mereka paham pesan yang hendak disampaikan, bukan diterima sekedar kemarahan,” cetusku.
Istriku mengangguk tanda setuju.
*
Bocah-bocah tetangga bermain pasir di halaman rumah kami. Dia membuat patung pasir dan kolam kecil dengan melubangi pasir dan mengalas dengan plastik. Kolam itu diisi air yang diambil dari kolam kami di depan rumah. Ada anak membuat kapal-kapalan dari kertas dan melayarkan di kolam buatan mereka. Sebagian lain main mobil-mobilan melewati jalan-jalan meliuk dibuat di atas pasir.
“Biarkan mereka bermain di halaman kita. Beri mereka kesempatan menikmati indahnya masa kecil,” kataku pada istriku.
Istriku menjawab dengan senyuman. Senyum bijaksana seorang ibu yang telah berusia menjelang senja.
*
Pikiranku melayang ke masa aku memiliki anak gadis. Aku membiarkan anak gadisku bergaul dengan teman-temannya termasuk teman lelakinya. Sering teman lelakinya juga datang ke rumah bila mereka melakukan tugas bersama.
Pernah sekali waktu aku menolak permintaan putriku. Ketika mereka dalam bulan-bulan sebelum menikah, putriku minta izin pergi ke rumah temannya di pinggir kota naik motor dengan calon suaminya itu. Aku tidak menyetujuinya. Putriku patuh, tidak jadi pergi.
Kita memang tidak bisa mengawasi setiap langkah anak remaja kita. Tetapi sikap kita dalam berbagai situasi akan mengisi kepala dan rongga dada mereka.
Aku sangat menaruh harapan agar generasi muda memiliki kegiatan positif dan terjaga perilakunya. Semoga!@
Tag: Cerpen