Oleh: Pallab Ghosh, Koresponden Sains British Broadcasting Corporation
JUMLAH Jumlah korban tewas akibat gempa di Turki dan Suriah hingga hari Sabtu (12/3/2023) telah mencapai 28.000 orang dan ribuan lainnya terluka. Jumlah itu diperkirakan akan terus bertambah lantaran peluang menemukan lebih banyak korban selamat semakin kecil, meskipun ada sejumlah individu yang berhasil diselamatkan.
Gempa yang terjadi di dekat kota Gaziantep, disusul oleh banyak gempa susulan yang salah satunya berkekuatan hampir sama besar dengan gempa pertama.
Gempa yang mengguncang Turki ini tergolong besar, berdasarkan magnitudonya sebesar 7,8. Gempa ini mengguncang hingga 100 kilometer dari garis patahan, menyebabkan kerusakan serius pada bangunan-bangunan di sekitar patahan.
“Dari gempa-gempa paling mematikan pada tahun-tahun tertentu, hanya dua di antaranya yang berkekuatan sama dalam 10 tahun terakhir, lalu empat gempa bumi pada 10 tahun sebelumnya lagi,” kata Kepala Institut pengurangan Risiko dan Bencana di University College London Profesor Joanna Faure Walker.
Namun bukan hanya kekuatan getarannya yang menyebabkan kehancuran.
Gempa ini mengguncang pada dini hari, ketika orang-orang berada di dalam rumah dan sedang tidur.
Salah satu faktor lainnya yang turut berkontribusi adalah kekokohan bangunan.
“Sayangnya, ketahanan infrastruktur di Turki Selatan, terutama Suriah, kurang baik, jadi penyelamatan nyawa saat ini sangat bergantung pada respons. 24 jam ke depan sangat penting untuk menemukan korban. Setelah 48 jam, jumlah yang bisa diselamatkan akan berkurang drastis.”
Ini merupakan wilayah di mana tidak ada gempa bumi besar selama lebih dari 200 tahun, sehingga kesiapsiagaan masyarakat lebih rendah dibandingkan wilayah yang lebih terbiasa menghadapi gempa.
Apa yang menyebabkan gempa?
Kerak bumi terdiri dari lempeng-lempeng terpisah yang berdampingan satu sama lain.
Lempeng-lempeng ini kerap berupaya bergerak, namu tertahan oleh gesekan-gesekan dengan lempeng yang bersebelahan.
Namun terkadang ada tekanan yang meningkat sehingga salah satu lempeng tiba-tiba tersentak dan menyebabkan permukaannya bergerak.
Dalam kejadian kali ini, lempeng Arab bergerak ke utara dan bergesekan dengan lempeng Anatolia.
Gesekan dari lempeng-lempeng itu yang memicu gempa bumi sangat merusak di masa lalu.
Pada 13 Agustus 1822, pergerakan lempeng tersebut memicu gempa berkekuatan magnitudo 7,4 yang masih jauh lebih kecil dibandingkan gempa berkekuatan 7,8 pada Senin.
Meski demikian, gempa bumi yang terjadi pada abad ke-19 itu mengakibatkan kerusakan besar pada kota-kota di wilayah tersebut.
Sebanyak 7.000 kematian tercatat di kota Aleppo saja. Gempa susulan yang merusak pun berlanjut selama hampir satu tahun.
Setelah gempa pada Senin, sudah ada sejumlah gempa susulan. Para ahli memperkirakan trennya akan sama dengan gempa besar yang sebelumnya terjadi di wilayah ini.
Bagaimana gempa bumi diukur?
Gempa bumi diukur menggunakan Skala Magnitudo Momen (Mw). Ini menggantikan ukuran skala Richter yang lebih dikenal, namun kini dianggap usang dan kurang akurat.
Angka kekuatan gempa mewakili kombinasi dari seberapa jauh garis patahan bergerak serta gaya yang menggerakknya.
Getaran gempa sebesar 2,5 atau lebih kecil biasanya tidak dapat dirasakan, tetapi dapat dideteksi menggunakan alat.
Gempa berkekuatan hingga magnitudo 5 dapat dirasakan dan menyebabkan kerusakan ringan.
Gempa Turki yang berkekuatan 7,8 diklasifikasikan sebagai gempa besar dan biasanya menyebabkan kerusakan serius, seperti yang terjadi dalam kasus ini.
Guncangan dengan kekuatan di atas 8 dapat menyebabkan kerusakan besar dan benar-benar bisa menghancurkan.
Bagaimana gempa ini dibandingkan dengan gempa bumi besar lainnya?
Gempa bumi di lepas pantai Jepang pada 2011 tercatat berkekuatan 9 dan menyebabkan kerusakan luas di daratan, hingga memicu tsunami dan menyebabkan kecelakaan di pembangkit nuklir di sepanjang pantai.
Gempa bumi terbesar yang pernah tercatat sepanjang sejarah adalah sebesar 9,5 di Chile yang terjadi pada 1960.@
Tag: Gempa Turki dan Suriah