Cerpen Karya: Efrinaldi
“Pergilah merantau, menjemput rezeki!” kata ayah pada Rifki ketika Rifki tamat SMA.
Kehidupan perekonomian di kampung halaman sulit kala itu. Orang hanya bertani dengan lahan terbatas. Sebagian berdagang kecil-kecilan di pasar-pasar. Hanya segelintir orang yang hidup berkecukupan kala itu, di antaranya para pegawai negeri dan sedikit pedagang cukup besar. Ayah Rifki hanya petani kecil, tidak mampu membiayai kuliah Rifki.
Pergilah Rifki ke Jakarta. Dia pergi bersama kawannya yang lebih dulu bekerja di Jakarta. Dia menumpang bus menuju Jakarta. Tahun 1976 kala itu Jakarta belum seramai sekarang. Rifki bisa menyesuaikan diri dengan kehidupan kota. Dia tinggal bersama temannya yang menjadi penjahit.
Mulailah Rifki memutar otak. Dia berjalan-jalan ke pasar Minggu. Berjumpa orang sekampung. Mereka mengobrol dan jadilah Rifki bekerja di tempatnya sebagai penjaga kedai bahan pakaian.
Lima tahun bekerja dia mulai punya uang. Dia membuka kedai sendiri dengan menjual pakaian dari bahan kaos. Usahanya maju. Kala itu orang gemar memakai kaos oblong dan celana olahraga.
Rifki mengembangkan usahanya dengan mencari pesanan pakaian olahraga dari bahan kaos untuk sekolah-sekolah di kampung halamannya. Pesanan berkembang terus sampai di mendapat pesanan dari berbagai kota kecil di Jawa Barat.
Usia 31 tahun Rifki menikah. Dia dengan istrinya terus berdagang kain. Usaha pun terus maju. Kemudian dia memiliki toko di Pasar Tanah Abang. Kehidupan Rifki berkecukupan.
Ketika anak sulungnya, Rizal, tamat SMA, dia mendorong anaknya kuliah. Anaknya kuliah di Akademi Pimpinan Perusahaan di Jakarta. Anaknya ketika mulai semester empat telah bekerja sambilan sebagai tenaga administrasi keuangan di perusahaan kosmetik terkenal. Sejak itu, anaknya bisa membiayai sendiri kuliahnya sampai tamat.
Begitu tamat, Rifki berpesan; “Jemputlah rezeki. Jangan terpaku pada yang telah ayah kerjakan. Kamu berpendidikan tinggi. Bekerjalah dengan keahlianmu itu!”
“Ya, Ayah!” balas Rizal.
Rizal kemudian bekerja di perusahaan pengeboran minyak berpusat di Dumai. Dia mengutamakan karirnya sehingga dia tidak berniat segera menikah. Karirnya melejit sehingga dia menjadi direktur keuangan perusahaan minyak itu.
Bersama atasannya dalam kunjungan bisnis ke USA terbit ide untuk membuka perusahaan ekspedisi. Sepulang dari USA dia bersama atasanya itu membuka perusahaan ekspedisi di Indonesia berlisensi dari USA.
Merasa telah diraih karir yang diinginkan, Rizal menikah. Dia menikahi gadis seorang pegawai negeri. Setelah anak mereka lahir, istrinya berhenti bekerja.
Rifki sakit keras. Dia dibawa pulang ke kampung halaman. Beberapa minggu kemudian Rifki wafat.
Burung murai berkicau di dahan pohon di pemakaman. Setelah sepi dari orang-orang yang datang menyelenggarakan penguburan ayah, tinggal Rizal dan putra sulungnya.
Rizal melirik putra sulungnya yang jongkok dibelahnya di makam ayah. Rizal mengatakan petuah yang sama dengan petuah ayahnya, “Jemputlah rezeki, Nak! Jangan terpaku ada yang ayah kerjakan!”
“Ya, ayah!” jawab Sang Anak.
Rizal berjalan meninggalkan makam ayahnya. Di sampingnya ada putra sulung yang kini sekolah di pondok pesantren. Generasi berganti, Rifki wafat, dilanjutkan Rizal. Kini, putra Rizal sedang mempersiapkan diri untuk menyongsong kehidupan lebih baik.
Kata bertuah ayah Rifki sampai ke Rifki dan kemudian sampai ke Rizal. Kini kata-kata itu juga tersemat di dada Sang Cicit. Jemputlah rezeki!
Tag: Cerpen