Penulis: Emsyarfi
Lagi-lagi aku mendengar senandung lirih seorang perempuan di keheningan malam yang dingin dan sepi, di rumah kami yang terletak di pinggir kampung.
Senandung itu nyanyian yang biasa dinyanyikan ibu-ibu untuk menidurkan anaknya. Tapi suaranya yang lirih mengerang, membawa tangisan pilu menyayat hati.
“Siapa yang meratap setiap malam itu?” tanyaku pada suamiku yang asyik menyimak berita dari stasiun televisi kesayangannya.
Sesaat Abin tak menjawab, ketika pertanyaanku ku ulang ketiga kalinya, baru ia mengangkat kepalanya.
“Oooo.. itu Asih. Tetangga yang tinggal diujung dipinggir sawah. Mantan TKI di negeri jiran, baru pulang beberapa bulan ini dan baru kembali ke rumah orang tuanya yang di ujung tanjung itu dua minggu yang lalu,” sahut Abin.
“Coba aja sore-sore kau sempatkan jalan ke kolam kita yang diujung,” katanya mengacungkan telunjuknya ke sebelah barat.
Diujung itu batas terakhir halaman kami, ada sebuah kolam ikan yang kami tanami beberapa batang jeruk manis.
Menurut Abin, perempuan itu sering bersimpuh dibawah pohon jeruk menatap ke kolam sambil meratap memanggil-manggil anaknya yang meninggal beberapa minggu yang lalu.
Aku membesarkan mataku dan menggelengkan kepala. Sebegitu sibukkah aku sampai tak sedikitpun mendengar kesedihan sedahsyat itu terjadi dekat sekali denganku.
Besok sepulang kerja kulangkahkan kakiku ke kolam belakang yang terletak paling belakang dari hamparan pekarangan kami yang seluas 6.500m2.
Benar, aku melihat sesosok tubuh ringkih, pucat dan kusut bersandar di pohon jeruk yang sarat buah, tapi perempuan itu hanya duduk bersandar sambil matanya tak lepas mengawasi air kolam seperti mencari sesuatu.
Tak satupun sampah kulit jeruk berserakan dekatnya, pertanda ia sama sekali tak peduli pada buah jeruk yang bergelayutan diatas kepalanya itu.
Dengan ragu-ragu aku maju semakin mendekatinya, tapi perempuan itu seperti tak peduli. Tak sedikitpun ia menjauhkan matanya dari air kolam yang bening kehijauan.
“Hai…..” Aku menyapa.
Perempuan itu tak bergeming. Aku menarik Radit untuk duduk dipangkuanku, bujang kecil itu menurut dan bersandar manis di pelukanku.
Tiba-tiba perempuan bernama Asih itu menghentikan lamunannya dan sekarang ia menatap Radit yang bersandar di pelukanku.
“Hadid…….” teriaknya nyaring.
Aku terkaget dengan reaksi frontalnya. Spontan aku merangkul Radit lebih erat dalam pelukanku dan berdiri.
Sekarang perempuan yang tadi terlihat beringas dan liar itu menjatuhkan dirinya di telapak kakiku.
“Nyonya….. kembalikan anakku….. kembalikan Hadid ku…..” raungnya memilukan hati.
Aku yang tadi khawatir dengan tatapannya yang liar sekarang malah jatuh iba mendengar suaranya yang menyayat hati. Kembali aku berjongkok dan menata dudukku.
Kucermati raut wajah Radit, aku khawatir bujang kecilku itu akan trauma mendengar raungan perempuan itu, tapi Radit terlihat tenang-tenang saja.
Sekarang Radit malah mengulurkan tangannya sambil tertawa-tawa menyambut jari-jari kurus Asih yang menjambanya.
“Hadid…..Hadid….. ini emak nak, kau sudah datang sayang…,” isaknya sambil mencium-cium telapak kaki Radit.
Aku tak kuasa menahan air mata yang sudah membasahi pelupuk mataku.
Sekarang aku baru ingat lagi cerita bu Aini tetangga sebelah rumah yang tempo hari bertamu ke rumahku. Karena kusambi dengan memasak, aku jadi tak begitu menghayati ceritanya tentang Asih.
Setelah ku kumpul-kumpulkan memoriku, aku ingat lagi penggalan-penggalan cerita bu Aini.
Asih bekerja bertahun-tahun sebagai TKW di negara Jiran, seluruh penghasilannya dikirim pulang dan dipergunakan suaminya untuk membangun rumah dan biaya hidupnya dengan dua anaknya yang menjelang remaja.
Sekali dua tahun perempuan itu pulang menemui suami dan anak-anaknya yang dengan berat hati harus ditinggalkannya.
Dua tahun terakhir perempuan itu tidak pulang, tahu-tahu ia pulang dengan kondisi mengenaskan. Kabarnya ia diperkosa majikannya, tapi malah dijebloskan ke penjara dengan tuduhan melakukan perzinahan dengan lelaki tidak dikenal. Kabarnya lagi perempuan itu dikurung lebih dari setahun di penjara negeri Jiran itu.
Keluar dari sana ia sudah bersama seorang bayi sebagai hasil perbuatan asusila yang dituduhkan padanya, yang membuat badannya terkurung lebih dari setahun.
Sekeluar dari penjara ia diserahkan ke kedutaan, kemudian difasilitasi untuk pulang ke Indonesia.
Walaupun akhirnya bisa bebas dan dipulangkan ke Indonesia tapi ia kehilangan gajinya setahun lebih bekerja karena majikan menolak membayar gajinya.
Penderitaannya belum usai. Di kampungnya, ia ditolak suaminya karena membawa bayi yang bukan darah daging suaminya, juga tidak membawa uang sama sekali.
Beberapa bulan ia bertahan dalam rumah tangga yang telah berubah menjadi neraka. Akhirnya tak tertahankan penderitaan, ia pulang ke rumah orang tuanya.
Tersaruk-saruk di malam gelap ia melangkah pulang ke rumah orang tuanya yang hanya berjarak 1Km dari rumah suaminya.
Pada malam pekat tanpa penerangan itu, ia harus menyerah dengan nasib, tubuhnya yang lemah, lelah dan putus asa.
Karena berjalan juga membawa tas pakaiannya sekaligus menggendong bocah setahun, itu membuatnya terguling ke dalam sawah yang dilaluinya.
Asih pingsan dan ditemukan warga keesokan harinya. Malang bagi anaknya Hadid Mirza begitu namanya, ditemukan warga sudah tak bernyawa separuh terbenam dalam lumpur sawah.
Sejak itulah pada malam-malam kelam warga mendengar ratapan nyaman dendang kan anaknya yang telah tiada.
Kadang-kadang ia duduk bersandar di pohon jeruk yang tertanam di pinggir kolamku. Menatap air kolam berlama- lama berharap anaknya akan datang menemuinya.
“Dasar laki-laki kejam tak berhati, tahu enaknya saja. Sudah dibuatkan rumah, dikirimi uang tiap bulan, giliran istrinya dapat musibah begini malah mengusir, bukannya kasihan atau melindungi,” kataku.
Aku mengomel-ngomel masuk rumah.
“Hei kesambet setan dimana? Makannya jangan sering-sering main sama orang senewen, sekarang kau sudah ikut-ikutan senewen kulihat” sambut Abin melihat mulutku yang komat-kamit mengomel panjang pendek.
“Eh jangan ikut-ikutan kau ya. Aku bukan mengomelimu, aku mengomeli Supandi suaminya Asih. Dasar lelaki tak berhati, mata duitan” terusku mengomel lagi.
“Ho…..ho…..kukira kesambet setan sawah. Sudahlah tidak usah mengomeli nasib orang, syukuri saja nasib kita. Hidup memang begitu, yang lemah dimakan yang kuat, yang bodoh mangsanya sipintar,” ucap Abin.
Sudah ah pusing aku mendengarmu seperti komentator bola begitu, dari mulai masuk rumah sampai keluar masuk lagi, merepet tak berhenti-henti.
“Mending kau buatkan aku mie goreng. Aku lapar nih” anjuk Abin mengalihkan perhatianku dari Asih.
Kuturuti permintaannya memasak mie goreng kesukaannya tapi hatiku tak lepas dari kemalangan dan penderitaan Asih yang terpampang di depan mataku dan belum ketemu solusi yang dapat kutawarkan baik pada Asih maupun orang tuanya untuk mengurangi penderitaannya.
Dua atau tiga hari sekali sepulang kerja, aku menyempatkan diriku main ke kolam belakang rumah kami, kadang-kadang aku kecewa kalau tak kutemui Asih di situ.
Kalau dia ada, sering ku bawakan makanan sekedarnya untuk mengganjal perutnya yang kuyakini pasti jarang diisi. Orangtuanya yang hanya buruh tani tentu kewalahan juga membiayai anaknya ini.
Tapi perempuan itu tak mau menyentuh makanan yang kubawa kalau aku masih ada di dekatnya, jadi kutinggalkan saja makanan itu di dekatnya, kalau aku sudah menjauh, baru ia mau menyentuh makanan itu.
Tapi kemudian ia mulai mau berkomunikasi denganku walau kadang-kadang pembicaraannya tak tentu arah, tapi aku senang bisa menemaninya.
Jika aku membawa Radit, matanya tak lepas dari wajah bujang kecilku yang ramah dan lucu itu.
Aku yang tak peduli pada ucapan orang-orang kampung yang mengatakannya sinting. Apalagi setiap aku membawa Radit, pasti ia akan lebih ramah dan keibuan.
Radit pun tidak terlihat takut padanya, malah dengan manisnya ya manggil Emak pada Asih yang suka menciumi telapak kakinya. Kemudian aku akan mendengar cekikikan tawa bujang kecilku itu menahan geli.
“Tak apalah berbagi sedikit kebahagiaan untuk perempuan malang itu,” kataku dalam hati.
Sore itu sepulang kerja, seperti biasa kalau tidak terlalu sibuk aku pergi ke kolam belakang rumah, menemui Asih. Kubawakan juga sepiring makanan untuknya.
Kubimbing Radit menapaki jalan berumput menuju kolam belakang tempat yang dipilih Asih untuk duduk menghibur hatinya dari kesedihannya.
Sampai di tempat pertapaan Asih, begitu aku menyebut kolam belakang itu sekarang, kuangsurkan piring yang kubawa padanya.
Ia menatapku takut-takut.
“Makanlah, supaya kau cepat sehat dan kuat. Aku ingin sekali kau bisa sehat. Kalau kau sudah sehat, kau bisa membantuku merawat Radit setiap hari aku pergi bekerja” bujukku.
Ajaib. Perempuan yang tadi terlihat ketakutan dan tidak mengasuhkan ku itu sekarang mendongakkan kepalanya.
“Hadid…………….” ucapnya tergesa dengan nafas memburu seperti orang baru kehilangan sesuatu yang teramat berharga dalam hidupnya.
Radit yang tadi menempel erat digendonganku sekarang meluncur turun. Diayunkannya kakinya ke punggung Asih.
Perempuan itu cepat menangkap telapak kaki Radit, menggelitiknya dengan lembut dan membawa kaki kecil itu ke hidungnya dan menciumnya dengan kasih dan kelembutan yang sulit kulukiskan dengan kata-kata.
Kasih dan kerinduan seorang ibu. Bujang kecilku itu terkekeh-kekeh menahan geli dan makin menendang-nendang punggung Asih.
Aku mengambil jarak, membiarkan perempuan malang itu menikmati kebahagian dan kegembiraan yang direnggut paksa darinya.
Setelah lelah menjaili Asih, bujang kecil itu kembali ke pangkuanku, dan perempuan kurus itu kembali menunduk seperti bunga layu.
“Sekarang makanlah, kalau tidak makan, kau tidak bisa sembuh bujukku lagi.”
Sekarang ia mematuhiku, ditariknya piring yang kuletakkan dekatnya itu pelan-pelan dan disuapnya dengan hati-hati. Dadaku sesak menyaksikan pemandangan itu.
Perempuan yang dari gadis dimanfaatkan oleh orang tuanya sebagai tulang punggung keluarga dan setelah menikah dan punya anak dua harus kembali jadi mesin uang bagi suami dan anak-anaknya. Sekarang setelah tidak bisa bekerja lagi, tidak dipedulikan oleh seluruh penikmat hasil jerih payahnya itu.
Tidak setiap saat aku ke kolam bisa menemui Asih, karena kudengar dia sering dimarahi bapaknya kalau berkeliaran kemana-mana, termasuk ke kolam belakang rumahku.
Keluarganya malu karena sering dicibir, dikatai punya anak gila.
Untuk menjaga hati orang tuanya yang keberatan anaknya kuberi makan di pinggir kolam, yang kata mereka seperti memberi makan anjing liar, kadang-kadang kubawa Asih ke rumahku.
Tapi Asih tidak berani masuk. Ia hanya mau duduk di depan pintu dapur.
Abin kadang-kadang menasehatiku; “Jangan terlalu sering kau bawa dia ke sini, nanti orang tuanya salah arti dengan kebaikan kita dikira kita, memperalat anaknya”.
Aku membelalakkan mataku dengan sangat heran bercampur marah; “Orang gila mana yang akan mengatai aku memperalat Asih”.
Semua serba salah. Aku memberinya makan dikatakan seperti memberi makan anjing liar, membawakannya ke sini dikira memperalatnya.
Padahal aku memberinya makan, memberinya baju, mengajaknya ngobrol, tak sekalipun aku menganggapnya gila. Bahkan aku meminjamkan Radit padanya, untuk menghiburnya” teriakku marah.
“Tak usah emosi buk, tenang……….. Aku hanya mengingatkan.
“Ini kampung, pendapat awam tidak sama dengan pendapatmu yang orang kota dan terpelajar,” balasnya kalem.
Aku masih gusar ketika Abin kembali menyambung. “Tempo hari apa kau berikan baju bekasmu pada Asih ya?” tanyanya menyelidiki.
“Iya, aku kasihan, bajunya basah karena ia duduk di bawah derasnya hujan,” sahutku.
“Dan kau tahu apa komentar orang kampung? Pak, ibuk sekarang suka duduk bercermin kolam ya? begitu kata si Rojak dan si Ahmad padaku kemaren,” ungkap Abin.
Hahaha……. Abin tertawa terkekeh-kekeh melihat mukaku yang tertekuk dan kaki yang kusentakkan kuat-kuat.
“Kau saja yang norak, masa komentar orang-orang kampungan itu perlu kau dengar,” semburku marah.
Abib berlalu sambil meneruskan tawanya, hanya membuat hatiku semakin kesal.
Sore itu aku pulang dengan wajah dan tubuh lelah. Atasanku menugaskanku untuk ikut diklat Jabatan Fungsional Auditor di Ibu Kota Provinsi selama satu bulan.
Semua orang akan tahu betapa beratnya diklat itu dan betapa pentingnya ….. bagi karirku.
“Pergilah, kau perempuan yang mau maju bukan?” dorong Abin lembut.
Seperti biasa ia adalah pemberi semangat nomor satu dalam hidupku.
Soal Andra aku tak khawatir, bujang sulungku itu sudah SMP, ia akan dengan gampang diurus bapaknya, tapi bagaimana dengan Radit kecilku? Ia pasti akan kesulitan tanpaku, setiap harinya sebulan ke depan.
“Coba aku tanya kak Rahmi” ujar Abin.
“Aku ikut ya…,” anjukku.
“Yuk lah..” kuraih Radit dan naik di boncengan motor Abin.
Kak Rahmi membuka tangannya lebar-lebar menyambut Radit dalam pelukannya. Bujang kecil itu terkekeh-kekeh gembira.
Sejak lahir ia erat dalam pelukan kak Rahmi, karena setiap hari aku bekerja ia bersama kak Rahmi di rumah, karena kami tinggal di rumah orang tua Abin, di rumah kak Rahmi juga.
Setahun lalu kami pindah karena rumah kecil yang kami bangun sudah siap ditempati.
Setelah kuutarakan rencana kantor mengirimku mengikuti diklat di Ciawi, kak Rahmi segera menyediakan dirinya untuk merawat Radit, dirumahku atau ikut ke Ciawi denganku.
Besoknya setelah kutanyakan fasilitas yang ku peroleh di pusdiklat, aku mengajak Kak Rahmi untuk ikut denganku karena ada kamar seorang satu untuk kami peserta diklat.
Tinggal beli tiket untuk Kak Rahmi dan Radit yang tentu diluar fasilitas kantor.
Empat minggu kami akan meninggalkan rumah. Tapi aku bahagia karena Radit ada bersamaku, aku tak perlu merasa khawatir atau bersalah meninggalkan anak selama itu karena mengejar karir.
Kuucapkan terima kasih dari hati yang teramat dalam atas bantuan dan perhatian kak Rahma padaku, perempuan teramat baik yang sudah ku anggap kakak dan orang tua.
Assalamualaikum, seruku membuka pintu rumah. Andra si sulungku tersenyum bahagia menyambutku.
“Sehat nak?” sapaku mengucek kepala Andra.
Bujang sulungku itu tersenyum menyambut kedatangan ibunya kembali di rumah.
“Hai, apa kabar kebun sepeninggalku? Bunga ada disiram?” tanyaku pada Abin yang masih menurunkan tas dari mobil.
“Beres nyonya. Disiram semua, tidak ada yang mati kok” canda Abin.
Pohon jeruk dihalaman dan jejeran pot bunga di teras rumah menyapaku manis. Walaupun kurang berseri karena tidak dipupuk, tapi masih hangat membahagiakan hati siapa pun yang memandangnya.
Malam itu sehabis isya aku merapikan rumah yang berantakan setelah hampir satu bulan ditinggal penghuninya.
Sayup-sayup kudengar lagi nyanyian Asih mendayu-dayu membelah malam menyayat hati.
Radit yang tadi bergulung didepan televisi sekarang mendekatiku; “Mak….mak….” katanya menarik tanganku.
“Iya..Mak…..adek rindu sama Mak ya?” tanyaku mengusap rambutnya yang halus lurus.
“Besok kita cari Mak ya. Sekarang dah malam ayo tidur,” bujukku meraih tubuh mungilnya kegendonganku membawanya ke kamar.
Kami hampir terlelap ketika Abin masuk ke kamar.
“Kasihan Asih masih menina bobokkan anaknya selama ini, apalagi udara diluar sangat dingin” ujarku benar-benar terlelap.
Tapi laki-laki itu menatapku dengan aneh.
“Asih?,” tanyanya dengan wajah ganjil yang sulit kuterjemahkan artinya.
“Mana lagi ada Asih. Sudahlah tidur, kau pasti lelah” katanya merebahkan tubuhnya dan sejurus kemudian tertidur.
Aku mengerinyitkan dahiku, heran atas reaksi Abin tadi yang seolah-olah ingin menghentikan aku membicarakan Asih, padahal selama ini setahuku ia cukup peduli dengan penderitaan Asih.
Besoknya aku kembali larut dengan kesibukan kerjaku sehingga aku lupa menemui Asih seperti janjiku pada Radit.
Sampai beberapa hari kemudian aku kembali mendengarkan suaranya yang lirih dan sayup-sayup memilukan hati.
“Mak..Mak…. ucap Radit menarik tanganku.
“Iya… Mak ya nak. Besok minggu kan, kita cari Mak ya,” ucapku mengelus kepala Radit dengan kasih.
Abin yang duduk dekat kami menatap heran padaku.
“Mau tengok kemana?” tanyanya dengan raut wajah aneh.
“Ya kepinggir kolam, bawah pohon jeruklah,” timpalku.
Dia pasti ada disana sekarang, barusan kudengar suaranya meninabobokkan anaknya.” ucapku.
“Kau mendengar suaranya barusan? Tidak mungkin” ucap Abin tak percaya.
Aku menatapnya heran. “Ada apa denganmu? Kenapa kau selalu tidak percaya padaku kalau aku bicara tentang Asih?” ucapku jengkel.
“Asih sudah meninggal dua minggu yang lalu,” ucapnya pelan.
Tapi aku terkejut amat sangat dengan suaranya yang hampir tidak terdengar itu.
“Aku tidak bilang dari kemaren karena takut kau merasa bersalah,” ucap Abin kemudian.
“Sepeninggal kau dan Radit. Ia datang ke sini setiap hari mencari Hadid katanya. Dia tidak percaya aku bilang Radit pergi,” cerita Abin.
Siang malam ia tak mau beranjak dari pintu belakang rumah kita, menunggu Radit yang katanya ada di dalam.
“Katanya ia sudah sembuh, dan katanya juga, kau janji akan mengajaknya bekerja disini mengurus Radit setiap hari kau pergi bekerja,” ujar Abin.
Aku menutup mukaku yang terasa panas.
“Yaya….. aku ingat, aku sering berkata padanya begitu setiap membujuknya agar mau makan.
Air mataku turun semakin deras.
“Maafkan aku Asih aku benar-benar berniat membantumu, aku benar dengan kata-kataku, akan mengajakmu bekerja kalau kau sudah sembuh,” sesalku teramat dalam.
Menurut Abin, lebih sepuluh hari terpapar sinar matahari dan diterpa embun malam, tubuh lemahnya menyerah.
“Ia pingsan dan akhirnya dijemput keluarganya yang semula tak peduli, meski sudah berkali-kali aku laporkan kalau Asih ada dihalaman rumah kita,” ungkap Abin lagi.
Tiga hari sebelum kepulanganmu dia meninggal. Lelap dalam tidur panjangnya setelah pingsan dihalaman belakang, kata Abin.
Aku mengusap air mataku yang jatuh tanpa kuminta. Hatiku sakit dan jiwaku luka mendengar penderitaan perempuan malang itu.
Rasa bersalah pun berkecamuk memenuhi hatiku.
“Andai saja aku tak mengenjar karirku dan tetap dirumah bersama Radit, tentu ia masih ada,” sesalku mengutuki diriku sendiri.
Abin memegang tanganku kuat-kuat.
“Bukan kau penyebabnya. Sudah takdirnya yang memanggilnya” bujuk Abin menenangkan hatiku.
Tapi aku tidak mampu menghentikan air mataku.
“Maafkan aku Asih, maafkan aku,” ucapku terbata-bata.
Aku ingat hari-hari terakhir sebelum aku berangkat diklat, Asih sudah menunjukkan tanda-tanda kesembuhan.
Ia sudah mulai bisa berkomunikasi dengan orang lain, selayaknya orang normal.
Tapi menjelang keberangkatan ke Ciawi aku benar-benar sibuk, aku lupa memberitahunya bahwa aku akan pergi membawa Radit.
“Benar-benar lupa, sedikitpun tak kusengaja.”
Hatiku pedih membayangkan kesalahan yang telah kulakukan itu, apakah aku bisa memaafkan diriku sendiri atas kelalaian sebesar ini.
Kugigit bibirku kuat-kuat. Besoknya kubawa Radit menabur bunga dan membaca doa dipusara Asih yang terletak dibelakang rumah orang tuanya.
Makam Asih tidak berapa jauh dari halaman belakang rumah kami, tempat kolam ikan dan pohon jeruk dimana ia sering duduk meratapi air kolam mencari bayang-bayang anaknya Hadid Mirza yang dipaksa pergi dari pelukannya oleh keadaan.
Radit seperti mengerti dengan siapa aku bicara dan berdoa.
Sejak itu pada malam-malam sepi, kelam dan dingin, aku masih sering mendengar senandung Asih menyanyikan putranya. Pedih dan mendayu-dayu menikam hati.
Tapi herannya, hanya aku dan Radit yang bisa mendengar nyanyiannya. Entah mengapa, mungkin karena kami dekat dengan hatinya dan peduli pada kesedihannya.
Entahlah, tapi setiap kudengar senandungnya, kupanjatkan doa untuknya.
“Semoga kau dan Hadid Mirza bahagia di alam sana. Maafkan aku kalau aku penyebab kepergianmu,” ucapku menyapu air mataku yang turun diam-diam.@
*) Ini adalah cerita fiksi, adanya kesamaan nama hanya kebetulan.
Tag: Cerita Fiksi