Telusur Peradaban Lamin Pamung Tawai, Destinasi Wisata di Kota Penyangga IKN

Tetua Adat Suku Dayak Kenyah Simson Imang. (istimewa)

SAMARINDA.NIAGA.ASIA — Lamin Adat Pamung Tawai berdiri kokoh di jantung Desa Pampang di Sungai Siring, Utara Kota Samarinda di Kalimantan Timur sejak 1991 silam. Lamin ini menyimpan berbagai sejarah tentang peradaban masyarakat adat Dayak di Kaltim.

Lamin atau yang sering disebut dengan rumah panjang, berbentuk panggung dengan 6 anak tangga dan atap menyerupai jajar genjang.

Lamin Pamung Tawai ini dihuni oleh salah satu suku asli Kalimantan yakni kelompok suku Dayak Kenyah.

Arsitektur Lamin Pamung Tawai Sarat Makna 

Ketika menginjakan kaki di Lamin Adat Pamung Tawai ini, pengunjung akan terpukau dengan bentuk arsitektur bangunan yang seutuhnya terbuat dari kayu Ulin. Mulai dari dinding Lamin, tiang-tiang Lamin, tangga Lamin, kursi, meja, lantai lamin, kanopi (les) atap, hingga dua patung penjaga di dekat anak tangga, juga seluruhnya terbuat dari kayu Ulin.

Lamin Adat Pamung Tawai ini dijaga oleh seorang Tetua Adat Suku Dayak Kenyah, bernama Simson Imang. Wartawan niaga.asia datang menemuinya siang ini tadi.

Mengenakan baju dan perlengkapan adat khas Dayak, mata Simson menatap sayu dari dalam Lamin, di tengah kerutan di wajahnya.

Ukiran pahat warna warni di dinding Lamin bermakna Bhinneka Tunggal Ika (niaga.asia/Nur Asih Damayanti)

Mengawali perbincangan, pria paruh baya itu bercerita Lamin Pamung Tawai di Desa Pampang sudah berusia 33 tahun, dan sudah sekali direnovasi di bagian atapnya, tanpa meninggalkan keaslian arsitektur bangunan Lamin.

Simson menjelaskan sejarah dibangunnya Lamin Adat Pamung Tawai. Perpaduan warna kuas kuning, merah, putih dan hitam, menurutnya bermakna Bhinneka Tunggal Ika. Artinya masyarakat setempat meskipun berbeda-beda, namun tetap rukun di kehidupan sehari-hari.

“Karena dulu antara Dayak Kenyah berperang sesudah merdeka, sudah mengenal agama dan pemerintah,” kata Simson dalam perbincangan bersama niaga.asia.

Dijelaskan Simson, dahulunya Lamin Pamung Tawai dihuni oleh 80 hingga 100 keluarga Suku Dayak Kenyah.

“Penghuni Lamin ini sekarang terpencar. Ada yang ke Berau, Malinau dan kabupaten Bulungan,” ujar Simson.

Lamin Pamung Tawai dibangun sejak 1991 dan sekali direnovasi di bagian atapnya (niaga.asia/Nur Asih Damayanti)

Di dalam Lamin ini juga tersedia halaman pentas seni yang digunakan untuk menampilkan tarian penyambut tamu ketika berkunjung ke Lamin Tarian yang dihadirkan pun beragam mulai Tarian Nyelama Sakai, Tarian Kancet Lasan, Tarian Enggang Terbang, Tari Anyam Tali hingga Tarian Pampaga.

Selain untuk penyambut tamu, Lamin ini juga digunakan untuk acara sakral seperti pernikahan adat, perayaan berpulang saudara dan persembahan adat yang digelar setiap bulannya.

Sementara di atas Lamin, terdapat juga hiasan burung Enggang, mengambang indah menambah keautentikan Lamin tua ini. Di bagian tengah burung Enggang, teruntai tali berwarna-warni, yang biasanya digunakan oleh penari Dayak untuk pertunjukan tari Kanjet Anyam.

“Burung Enggang di langit melambangkan kepemimpinan dan perdamaian yang kuat. Di mana, rakyat tunduk pada pemimpin dan pemimpin tunduk pada rakyat,” jelas Simson.

Simson beranjak mendampingi niaga.asia mengelilingi Lamin. Sesekali dia terlihat menggaruk kepalanya.

Di bagian tengah lamin, terdapat sebuah patung dengan tinggi dua susun. Susunan pertama berdiri patung manusia menggunakan penutup wajah mirip tameng Dayak. Di tempat itu juga terlihat susunan kedua patung guci berwarna putih tulang, dengan ukiran naga di tengah guci tersebut.

Lamin juga menjadi tempat sederetan tari adat Dayak untuk menyambut tamu yang berkunjung (niaga.asia/Nur Asih Damayanti)

“Lambang naga ini awalnya menceritakan perjalanan Dayak Kenyah menuju Indonesia. Kalau cerita versi keduanya, kemunculan naga ketika banjir di sungai seberang (Sungai Mahakam),” ucapnya.

Sembari meraba dinding Lamin, Simson juga menceritakan bentuk ukiran yang ada pada tiang-tiang Lamin. Menurutnya ukiran pada tiang bangunan Lamin melambangkan kekuatan seorang pemimpin, dan masyarakat Dayak Kenyah yang bersatu mempertahankan suku mereka.

“Saya yang membangun Lamin ini dulu tahun 1991. Waktu itu saya ke sini tahun 1985,” sebut Simson mengingat waktu itu.

Mengakhiri perbincangan, Simson mengajak masyarakat dari berbagai daerah untuk mengunjungi destinasi wisata Lamin Pamung Tawai ini untuk melihat pertunjukan seni adat Dayak, ketika berkunjung ke Desa Budaya Pampang.

“Atraksi tarian di sini setiap bulan. Biasa ditampilkan hari Minggu, mulai jam 2 sampai jam 3 (siang). Harganya di hari libur Rp 40 ribu dan hari biasa Rp 10 ribu per orang,” demikian Simson Imang.

Penulis: Nur Asih Damayanti | Editor: Saud Rosadi | ADV Diskominfo Kaltim

Tag: