Cerpen Karya: Efrinaldi
Ketika aku hampir putus asa ketika kehilangan cinta dan pekerjaan, aku bertemu mantan guruku yang kuanggap masih tetap guruku. Dia berkunjung ke rumahku karena tahu aku lagi dalam kegalauan.
Dia berkata, “Yang paling akhir mati adalah harapan.”
Aku berpikir apa maksudnya. Aku bertanya, “Apa maksudnya?”
“Apa kamu mau mati saja, padahal kamu belum menjalani kehidupan ini sepenuhnya!”
Terbuka pikiranku seketika.
“Ya, aku mau berhasil dalam pekerjaan dan segera menikah!” tukasku.
Guruku tersenyum lebar. Dia berkata, “Minggu depan ada acara seminar di Jakarta. Kamu datang pura-pura sebagai asistenku.”
Dia menyodorkan undangan seminar itu. Kulihat beliau sebagai pembicara kunci di acara itu.
“Baik, Pak. Saya akan datang,” jawabku.
“Kamu pakailah pakaian rapi dan kalau mau pakai dasi juga,” katanya.
Aku mengangguk mengiyakan.
*
Aku naik kereta ke Jakarta dari Bandung selepas subuh. Aku turun di stasiun Gambir. Tak jauh jauh dari stasiun aku naik taxi ke hotel yang lokasinya tidak terlalu jauh dari stasiun Gambir.
Aku turun dari taxi. Masuk ke lobby hotel. Ku lihat di pengumuman di lobby tentang acara seminar itu. Aku naik ke lantai dua lokasi seminar. Banyak orang di depan pintu masuk ruangan dimaksud.
Aku mendaftarkan diri sebagai peserta seminar. Aku memperhatikan sekeliling. Ada beberapa orang yang kukenal, namun aku menahan diri untuk tidak bergabung dengan siapa pun.
Aku pergi ke meja minuman yang tersedia di muka ruangan. Aku mengambil secangkir kopi dan dua potong snack. Aku mencari tempat agak di sudut. Tiba-tiba datang guruku.
“Epi, sudah datang kamu rupanya,” sapanya.
“Ya, Pak. Aku baru saja datang,” jawabku.
Dia menarik tanganku ke arah meja panitia. Dia memperkenalkan aku dengan dengan seseorang.
“Ini Efrinaldi, asisten saya,” kata beliau.
Aku menjabat tangan orang dimaksud.
“Salam kenal, saya Satrio, ketua panitia acara hari ini,” katanya.
Aku kemudian mengikuti guruku, seperti seorang asistennya. Sampailah guruku menyampaikan seminarnya. Aku menjadi asisten sorotnya.
Sewaktu waktu istirahat siang, aku bertemu teman lamaku yang bekerja di Badan POM. Setelah bercerita panjang lebar, sampailah cerita soal aku yang sedang tidak punya pekerjaan.
Dia memberikan informasi bahwa ada perusahaan farmasi yang membutuhkan manager QC di Tangerang. Katanya, kalau aku berminat dia bisa hubungkan dengan temannya yang menjadi konsultan di sana.
“Aku katakan bahwa aku memang butuh pekerjaan. Tidak terlalu memilih. Dia kemudian memintaku datang ke kantornya sesegera mungkin.
*
Aku datang ke kantor temanku dua hari kemudian. Sesampai di kantornya ternyata telah dipersiapkan pertemuan dengan konsultan tempat calon aku bekerja. Konsultan tidak terlalu banyak bertanya tentangku. Mungkin temanku telah bercerita banyak tentangku.
Konsultan kemudian memberikan secarik kertas berisi nama dan alamat perusahaan berlokasi di Tangerang. Aku menyimpannya. Kami ngobrol ringan beberapa menit dan konsultan kemudian pamit.
Singkat cerita akhirnya aku memang diterima bekerja di perusahaan itu. Namun aku tidak lama bekerja sebab aku harus mengurus ibuku yang lagi sakit. Aku memutuskan berhenti bekerja.
Tidak ada keraguan bagiku untuk berhenti bekerja karena aku menyandang misi baik yaitu mengurus ibuku. Soal pekerjaan nantinya aku tidak terlalu merisaukannya.
Aku telah dibekali guruku untuk tidak pernah putus asa. Memang setelah urusanku selesai mengurus ibuku, aku segera mendapat pekerjaan lagi.
Pekerjaan itu jauh lebih mantap dibandingkan pekerjaan terdahulu. Aku menikah setahun kemudian dan menghabiskan umurku di perusahaan itu sampai aku pensiun di usia pensiun normal.
Dalam hidup ada masanya kita hampir putus asa. Tetapi bila harapan juga mati, maka tamatlah riwayat kita.
Benarlah, “Yang terakhir mati adalah adalah harapan!”
Jadi, jangan pernah putus harapan!
Tag: Cerpen